MENU UTAMA:

29 May, 2007

Kawan Aku mulai Kehilangan

Kawan, secangkir kopi pagi ini mulai tak nikmat lagi. Aku mulai mencari-cari alasan kenapa kopi ini menjadi berasa aneh, padahal bungkusnya masih sama dengan yang kemarin? Mulai terlintas di kepala sederetan nama-nama kopi, robusta, arabika, kopi lampung atau kopi yang ditanam dengan pupuk organik atau pupuk kimia. Jujur semua itu biasanya tak aku pedulikan.

Aku mulai membolak-balik halaman koran, mencoba menikmati hasil pekerjaan kemarin. Kubaca lagi artikel tentang gonjang-ganjing kasus korupsi di lingkungan pemkot. Aku mulai membayangkan betapa uang ini akan sangat melimpah jika kita gunakan untuk hidup berdua saja di sebuah desa kecil seperti yang kau cita-citakan. Bikin rumah panggung berdinding papan di pinggir pantai dengan halaman luas yang ditumbuhi pohon kelapa. Miara kuda poni agar setiap sore kita bisa menunggang kuda menyusuri pasir di sepanjang pantai dan melupakan semua permasalahan rumit yang jika dirunut sebetulnya bukan masalah kita, seperti katamu (bisakah?)

Kau selalu ketakutan, ketika kesibukan sama-sama mendera kita, saat ia datang bagai setan yang bergentayangan di malam suntuk sehingga ketika mata kita hampir terpejampun masih selalu terlintas bayangannya. Atau ketika datang sedikit waktu untuk mengendorkan saraf, yang ada justru ketegangan-ketegangan baru diantara desah nafas penuh nafsu. Perang Lebanon selalu muncul, seiring keringnya keringat setelah pergumulan itu, meski kau dan aku tak pernah keluar sebagai pemenang, tapi nyatanya kesempatan bercumbu rayu dan menumpahkan segala ungkapan kasih dan sayang itu selalu dihiasai pertengkaran. Dan selalu bisa kupastikan pagi setelahnya tidak akan ada kopi di meja makan.

Kawan, kau pasti lelah dan akupun capek. Mencoba mengais semangat baru dengan bercermin kepada pak Yat, tukang becak sebelah rumah kontrakan yang selalu berangkat pagi. Aku pun segera melempar koran, menyambar kunci motor dan jaket. Selalu tergesa-gesa tak sempat lagi mengunci pagar atau sekedar mengelus bulu si belang yang sedang tiduran di teras rumah.

Jalanan mulai macet, asap mulai memenuhi rongga pernafasan, ada sesuatu yang rasanya tiba-tiba memanggilku untuk berhenti di samping pagar tembok sebuah pabrik. Yaa aku tahu sekarang, tadi malam saat aku pulang tembok ini masih putih dengan cat barunya. wow rupanya para bomber semalam telah bergerilya menumpahkan segala keresahannya. Mereka mencoba menyapa siapa saja dengan caranya sendiri. Ya…lewati grafiti dan mural atau coretan dinding apalah, mereka telah mencoba menyapaku, betapa indahnya jika semua saling bertegur sapa? Itu yang sudah lama tidak kau atau aku lakukan.

Aku mulai yakin, itu yang kita butuhkan! bukan hanya sekedar pergumulan pelampiasan syahwat tanpa kata-kata dan selalu diakhiri dengan perang antar genk, pertikaian yang selalu muncul bukan karena sebab yang prinsip. Kau selalu protes perutku yang semakin membuncit atau nafasku yang bau. Padahal kata-kata tanpa tuntutan akan melahirkan cinta-cinta yang lain hingga mampu meniadakan gelambir lemak di perut atau bau mulut. Aku berjanji, akan mengucapkan salam saat membuka pagar sepulang kerja nanti, atau menyapamu dengan senyum paling manis yang selama ini hanya aku keluarkan saat berasyik masyuk dengan perempuan-perempuan yang menemaniku di hotel saat aku liputan di luar kota.

Rumah mungil di tepi pantai itu selalu mebayangiku, juga wajahmu yang semakin matang di hias bedak tipis seperti pertama aku mengenalmu tak pernah lepas dari kelopak anganku. Aku semakin yakin aku harus menyelamatkan perahu yang mulai retak ini. Aku harus segera keluar dari pekerjaanku untuk segera mengajakmu mengawali petualangan baru dengan rumah kecil di tepi panti. Dan, itu artinya kau pun harus segera melepaskan segala tanggung jawabmu pada pekerjaan yang telah kita jalani selama sepuluh tahun ini. Sesampai di rumah nanti aku berjanji, setelah mengucap salam dan senyum paling manis aku akan mengajakmu jalan-jalan. Itu yang sedang kita butuhkan, bukan hanya sebatas keakuan yang terjal sekeras batu karang.

Seharian tak bisa konsentrasi, setelah menyatakan keinginan hati mencoba berkonsultasi pada redaktur seniorku. Bayangan rumah kecil di pantai dan wajahmu serta derai suara bocah yang selama lima tahun ini telah kita rindukan, seakan-akan menjelma menjadi fakta. Sulit, benar-benar sulit ku lewati. Baru sekedar membayangkan saja indahnya seakan tak bisa kutinggalkan walau untuk beberapa saat, bagaimana jika ini menjadi kenyataan? Tak banyak yang bisa aku kerjakan seharian ini, tugas liputan aku wakilkan, teman-teman. Begitu waktu sudah menunjukan kepantasan seseorang untuk pulang kerja aku langsung tancap gas, lebih sore dari biasanya.

Lampu jalan dan teras rumah belum di nyalakan, masih agak terang di luar, cahaya merah saga matahari yang hampir tenggelam. Pintu rumah sedikit terbuka meski tak terdengar suara. Aaah… kau sedang memulai pergumulan yang panas dengan lelaki itu, hati panas seperti terbakar, hampir aku menyerobot masuk dan menghujamkan apa saja pada pergumulan itu. Hatiku dibakar cemburu yang sangat. Ah,… mungkin kau juga cemburu saat mengetahui aku sedang bergumul dengan perempuan lain di waktu yang lalu. Perasaanmu mungkin sama dengan apa yang aku rasakan saat ini.

Kembali menyambar kunci motor dan jaket di teras, melarikan motor dengan kencang, aah,… mungkin kau kaget dan menyudahi pergumulan itu, aku menyesal. Mestinya aku tak mengejutkanmu dengan tarikan gas, hingga motorku meraung- raung. Aku pergi meninggalkanmu, aku pergi melarikan ketidak realaanku.

Mestinya saat ini aku masih ada di sampingmu, tapi nyatanya aku justru belum bisa menerima apa yang aku lihat saat saga sedang merah. Sungguh bukan hal yang fair yang telah aku lakukan, bukankah aku juga pernah bahkan sering melakukannya? *>*>*>




No comments:

 

MENU UTAMA: