Tertatih-tatih aku menujunya dengan senyum terindah yang aku miliki, seutas harap ku kalungkan kelehernya, sebingkai keyakinan kuikatkan di pinggangnya. Kupasrahkan diriku dalam ketiadaan. Lelakiku memapahku dalam dekapan paling lembut, tiba-tiba dadaku sesak, ada bahagia yang tak aku mengerti, lelakiku menghujamiku dengan ciuman. Lamat-lamat aku kembali mendengar irama gamelan, kendang dan bonang kembali membethotku dari pelukan mempelaiku, ada sesal yang terasa saat terlepas, namun aku lebih tak mampu melepaskan tarikan irama bonang dan kendang yang terus mengundang-ngundang diriku
Untaian kembang pengantin mulai berwarna coklat, tak lagi menyerbakan aroma kesegaran. Namun kesibukan para tetangga belum juga mereda, seperti halnya hujan yang belum mereda sejak ijab qobul dimulai dua hari kemarin. Sebagai pengantin akupun masih juga disibukan dengan menerima kedatangan kawan-kawan yang tak henti-hentinya mengalir bagai air sungai desaku sebelum kering akibat kemaru panjang ini. Bahkan kedatangan orang-orang tak diundang dan tak kukenal itu harus kuakui telah menggangu waktuku sebagai pengantin baru.
"Yang mana pengantin lakinya?", mereka yang tak kukenal mulai kasak-kusuk mengumbar tanya diantara mereka sendiri. Agaknya mereka tak berani secara langsung menodongku dengan pertanyaan itu, aku mahfum. Mereka para tamu memang kebanyakan para penduduk pulau kecil yang tersebar tak jauh dari desa tempatku tinggal. Biasanya kami hanya bertemu mereka di pasar desa, saat musim layur atau tongkol. Tak jarang mereka juga kepasar dengan membawa hasil hutan berupa rempah-rempah, cengkeh atau pala, kemudian kembali mereka berlayar kekampungnya dengan membawa beras hasil panen desa kami yang terkenal pulen dan wangi. Tak jarang mereka para orang tua juga pulang sambil menenteng mainan pistol-pistolan dari bambu atau gasingan kayu sawo untuk mainan anak-anaknya.
Selayaknya orang yang menghadiri pesta perkawinan mereka juga mendapatkan makanan dan kue pengantin buatan para kerabat dan tetanggaku, nampaknya mereka bersuka cita dengan suguhan sederhana keluargaku."Mbok yaa pengantin lakinya disuruh keluar, masak siang-siang begini di kamar terus, seperti pisang kalau sering diperam malah tambah busuk lho", laki-laki hitam kekar yang tampangnya tak asing lagi, karena sering mengantar layur ke rumah terus nyerocos diiringi tawa rekan-rekannya. Aku tak peduli, agaknya ia memang sengaja menggodaku karena mungkin iri dengan pernikahanku, apalagi sebulan sebelumnya ia sempat menyatakan cintanya kepadaku saat aku pulang mengambil air dan ia akan mengantarkan ikan layur kerumahku. Bukannya aku tak menanggapinya tapi sebelumnya akupun sudah katakan tak mungkin aku menjadi bininya.
Bukannya aku tak suka memperkenalkan suamiku kepada semua tamu yang datang. Tapi nampaknya kebahagiaan itu telah pula sirna bersama upacara pernikahan. Aku gadis desa biasa saja, hanya kebetulan aku lahir bersamaan dengan gerhana bulan di malam kamis pahing bersamaan pula dengan gunung tertinggi di desaku yang dianggap tempat bersemayam ruh para leluhur bergelegak mengeluarkan lahar panas yang memporakporandakan sebagian desaku. Demikianlah cerita seputar kelahiranku yang aku dapat dari para tetua kampung. Ibuku meninggal tiga hari setelah melahirkanku, ayahku? hampir tak pernah kukenali raut wajahnya.Hanya samar-samar karena memang tak lama aku hidup dalam belai perlindungannya. Kata orang,s ejak kepergian ibuku, tak pernah lagi ayah beranjak dari pinggir pantai. Sehari hari hanya duduk bengong terlongong memandang laut lepas dengan secuil senyum di sudut bibirnya. Bahkan mungkn karena iba melihat kondisi ayahku orang-orang bergotong royong sekedar membuatkan pondok untuk bernaung.
Sampai suatu ketika jelang empat tahun usiaku tiba-tiba ayah tak terlihat di pondoknya. Cerita yang kudengar begitu simpang siur, para pemikul rotan yang biasa singgah di pondok ayah, mengatakan, malam itu rembulan sedang purnama penuh. Tiba-tiba ayah dihampiri kuda bersayap dan terbang menuju bulan. Begitu juga para nelayan disekitar pondok ayah punya cerita lain lagi, malam itu memang sedang purnama penuh, dan tiba-tiba gumpalan daging lunak yang besar menyerupai gurita telah berubah menjadi tunggangan ayah. Mahkluk besar itu berderak-derak membelah laut yang sedang pasang, dengan senyum ayah masih sempat melambai kearah orang-orang yang mengaku melihatnya di saat -saat terakhir keberadaannya.
Hanya itu yang aku dengar mengenai kepergian ayah dengan ketidak warasannya. Selanjutnya aku tak peduli, sampai usiaku enam belas tahun jelang pernikahanku tiga hari yang lalu. Yang aku tahu dan ingat lamat-lamat sejak kepergian ayah aku diboyong kerumah tetua desa yang selanjutnya aku panggil Iyung. Kepindahanku dari pondok ayah di tepi pantai juga disertai iring-iringan tetabuhan gamelan. Berikutnya yang aku ingat setibanya di rumah Iyung yang aku anggap sebagai pengganti orang tuaku, aku di mandikan dengan air kembang dan sejumput rambutku di potong. Masa-masa kecil aku lalui dengan begitu hikmat, mandi di kali tak beda dengan bocah seusiaku, berlarian di pematang sawah mengejar belalang kayu untuk di bakar bersama anak-anak penggembala kerbau. Berhujan-hujanan di sawah sembari mencari telur burung gemak dan yang paling tidak aku suka,belajar meniup seruling bambu dari Iyung untuk memanggil angin agar mampu memindahkan mendung ketika tetanggaku mempunyai hajat. Aku lebih suka belajar membunyikan cemeti untuk mengusir roh jahat yang mengganggu sapi atau kerbau orang-orang desaku.
"kau harus rela menerimanya wuk, kau perawan pilihan yang terhormat. Bahkan sejak kamu masih kecil wuk, demi melihat tanda-tanda yang mengiringi kelahiranmu, aku sudah yakin kamulah yang telah dipilih alam untuk menggantikanku" Iyung masih terus membujukku untuk menerima lamaran para tetua desa yang telah sepakat memilihku untuk menjadi menantunya.Lamaran yang sebetulnya menurutku lebih tepat dikatakan sebagai tawaran dengan sedikit paksaan. Menolakpun percuma, bisa-bisa aku dikucilkan ketepi hutan seperti halnya Sikarti anak Kerto saat menolak lamaran hasil mufakat tetua desa dua tahun yang lalu. Bukan hanya dikucilkan, rambutnya digunduli bahkan sampai sekarang si karti hanya tinggal bersama anjingnya di hutan tak jauh dari kampung kami, tempat biasa aku mencari kayu bakar. Aku sering melihat sikarti, tertawa sendiri, menangis meraung dan bernyanyi bersama anjingnya, kata orang karti menjadi sinting karena kemarahan danyang kampung kami, setelah lamarannya ditolak. Dikucilkanpun sebenarnya akutak merasa ngeri, hanya saja kau tak ingin mengecewakan Iyung, biyang yang telah membesarkanku dengan kasihnya.
Ahhh, apa salahnya aku menerima, toh aku belum pernah merasakan nikmatnya jatuh
cinta. Aku juga belum pernah membuat orang lain sakit hati, kecuali si hitam kekar yang biasa mengantar layur kerumah, yang pernah nyatakan cinta padaku saat aku pulang mengambil air. Dia laki-laki pemberani tak mungkin sakit hati akibat penolakanku. Aku hanya ingin Iyung yang telah membesarkanku bahagia, orang sekampungku dan tetangga desa bahagia atas kesediaanku menerima lamaran para tetua kampung dan yang penting lagi aku juga ingin bahagia seperti sering kali di ceritakan yu Sinah saat mengudang bayinya atau aku juga ingin merasa cemasnya menanti kedatangan seorang suami seperti yang sering kali yu sinah rasakan saat berharap-harap cemas menanti kedatangan suaminya dari kota di seberang laut untuk berdagang bahkan aku juga ingin diserbu cemburu seperti halnya yang sering yu Gemi ceritakan padaku saat suaminya melirik gadis-gadis pulau seberang menjajakan ikan.
"Tapi wuk, kau harus ingat engkau bukan Karti, bukan juga Sinah atau Gemi yang bisa merasakan cemburu, cemas dan rindu saat menanti kehadiran suaminya. Engkau perawan pilihan, engkau hanya akan merasa bahagia jika ikhlas menerimanya, engkau tak bisa menuntut hanya bisa memberi pada suamimu kelak", Iyung terus menjejalkan nasehat-nasehat tuanya kepadaku, yang mungkin juga lebih tua dari usianya sendiri, barangkali nasehat yang juga dijejalkan orang tuanya saat iyung seusia denganku ketika jelang pernikahannya dulu. "Seorang perempuan hanya pantas untuk tunduk dan patuh pada suaminya, tapi engkau berbeda, sekali lagi berbeda, suamimu takan pernah memberi apa yang kau inginkan, suamimu hanya menjadi lambang bahwa engkau telah di pilih", Iyung masih terus menjejaliku dengan nasehat berkarat hingga sepertiga malam, namun dadaku yang mulai tumbuh seakan meledak ketika meredam bara marah di dalamnya saat satu hal yang tak aku inginkan telah Iyung katakan."apaaa...sedemikiankah pengorbananku,suami macam apa rupanya yang akan kunikahi".teriakanku membuat iyung sedikit tersentak, meski mungkin sebelumnya Iyung juga telah perkirakan." sabar wuk, sabaaar...itulah pengorbananmu, ingat engkau perawan pilihan bahkan engkau takkan sanggup melarang suamimu untuk tidak melampiaskan hasrat seksualnya pada yang lain, kecuali engkau mengurungnya dengan resiko engkau akan menderita luka meredam amuknya".
Berikutnya aku memang berhasil meredam marah ketika mengingat kebaikan iyung, mengingat wajah-wajah mengharap dari orang-orang kampung, pada harapan dan kebahagian yang dijanjikan jika aku mampu dengan sabar melewati pernikahan ini. Akupun dengan sendirinya bertekad akan mencari kebahagiaan sendiri dengan pernikahanku. Pendeknya pernikahanku adalah harapan bagi kebahagiaan orang sekampung saat bisa melewati masa kemarau yang terik, menghindari pagebluk untuk masa-masa yang akan datang diberkati kesehatan, hasil panen yang melimpah, ternak yang gemuk, singkatnya pernikahanku telah dipersembahkan kepada danyang yang memangku kampung ini sebagai gantinya. Tapi aku tetap bertekad akan mencari kebahagianku sendiri, meski menjadi korban, jika aku iklhas tak akan terasa menjadi korban. Sedikit yang menyejukanku, orang-orang kampung takan berani mencibir pernikahanku, kecuali orang-orang pulau seberang yang tak mengerti adat kepercayaan kampung kami.
Hingga hari pernikahan ditentukan masih menyisakan lima hari aku masih membantu menumbuk beras, sedangkan para lelaki menyiapkan kayu bakar, sebagian mulai memotong bambu untuk pentas upacara pernikahan. Tungku-tungku tanah liat mulai di buat, gentong-gentong tandon air telah terisi penuh. Dua hari jelang pernikahan, gadis-gadis kecil mulai merangkai kembang hutan, sebagaian masih sibuk berlatih menari untuk menyambut mempelai.ibu-ibu sambil mengunyah sirih asyik bercengkerama sambil melipat daun untuk tempat nasi atau jajanan. Sehari jelang pernikahan kembang pinang yang harum baunya juga sudah dipotong bersama daun andong dan pandan dirangkai bersama janur kuning menjadi semacam kembar mayang. Sementara aku hanya bisa mengintip kesibukan di luar dari balik celah gedek kamarku, sementara di bilik sebelah para tetua kampung yang tujuh orang jumlahnya mulai menggumamkan mantera puji sambil sesekali membakar kemenyan. Asap dupa kemelung bergulung singgah di relung hati, bergulung kembali menuju keabadian yangtinggi, entah kemana dituju swarga.
Hari pernikahanku telah tiba, bertepatan dengan bulan kesepuluh Saka, kemarau sedang terik-teriknya, matahari setinggi pohon pinang, menyengat membakar apa saja. Sederetan kambing kurus yang mula-mula mengembik berebut dengan nafsunya menyerbu gentong-gentong tandon air. Kang Setu berhasil menghalaunya ke tegalan kerontang di seberang sungai kering. Tak seberapa lama sekawanan sapi kurus juga berebut daun pembungkus nasi dan menghabiskan segentong air dalam tandon, lagi-lagi kang Setu menghalaunya ke tegalan kerontang di seberang sungai kering. Binatang rojokoyo itu nampaknya juga enggan memagut-magut rumput yang juga kering, nampak matanya berharap akan segera turun hujan untuk menumbuhkan rumput-rumput muda yang manis, serta mengisi kembali sungai kering dengan air minum.
Makin tinggi mataku menerawang lewat celah gedek bilikku makin enggan aku membayangkan betapa sulit nya desa kami ketika kemarau sedang meradang seperti ini. kemarin saja orang-orang harus memikul gentong air dari dalam hutan melewati pondok Si Karti yang sinting hanya untuk mendapatkan air sebagai persiapan acara pernikahanku, tak kurang dari duapuluh lelaki dewasa selama dua hari penuh harus bolak balik memikul air. Sampai-sampai saking ributnya, mereka harus berurusan dengan Si Karti yang sinting yang merasa terganggu. Si Karti merasa sumber mata air itu menjadi daerah kekuasaan yang telah bertahun-tahun ditunggunya, atau tepatnya hanya dua tahun. Mereka bersitegang, ujung-ujungnya sambil tergelak Si Karti nongkrong di atas batu dan mengencingi air sumber yang tak lebih tinggal seember itu.
Makin siang makin panas, anak-anak merengek memelas, lamat-lamat tetabuhan mulai terdengar, aku sudah selesai di rias. Menuruti adat upacara, pernikahanku akan digelar beduk lohor saat matahari benar-benar membakar ubun-ubun. Tetabuhan makin keras mendekat, aku sempatkan melongok wajahku ke cermin buram yang terselip di gedhek jendela, ehem... cantik juga ternyata wajahku dengan pakaian pengantin ini, pantas si hitam kekar pemikul ikan layur begitu- tergila-gila padaku. Iyung memasuki bilikku, sambil mengalungkan selendang dan seuntai kembang melati dironce, suara kendang dan bonang serta merta menyeret-nyeret kesadaranku untuk menuruti gerak iramanya. Sepintas Iyung tersenyum, dan aku tak bisa lagi melepaskan diri dari hentakan dan liukan irama suling. Kakiku makin ringan makin tak terasa menginjak tanah yang aku tahu hanya ada lingkaran berlapis beludru biru bersulam sutera, aku tak sadar lagi ada pasangan-pasangan mata nanar mengikuti gerak tubuhku. Aku terus menggeliat, mengikuti irama yang menyayat, mencoba mengejar asap dupa yang sengaja menggoda ku sebelum menuju swarga.
Aku teringat, aku adalah pengantin wanita yang menyongsong laki-laki mempelaiku, ada bau harum melati, lecari dan regulo mengambar membuatku nanar penuh harap dalam pencarian. Bersamaan degan wangi kesturi sekelebat bayang mempelaiku terlihat di balik tirai menantiku. Tertatih-tatih aku menujunya dengan senyum terindah yang aku miliki, seutas harap ku kalungkan kelehernya, sebingkai keyakinan kuikatkan di pinggangnya. Kupasrahkan diriku dalam ketiadaan. Lelakiku memapahku dalam dekapan paling lembut, tiba-tiba dadaku sesak, ada bahagia yang tak aku mengerti, lelakiku menghujamiku dengan ciuman. Lamat-lamat aku kembali mendengar irama gamelan, kendang dan bonang kembali membethotku dari pelukan mempelaiku, ada sesal yang terasa saat terlepas, namun aku lebih tak mampu melepaskan tarikan irama bonang dan kendang yang terus mengundang-ngundang diriku. Pada detik kesekian suara seruling makin meninggi seakan menarikku mengangkasa mengiringi asap dupa yang kian menipis menyelubungi selembar tubuhku.
Tiba-tiba mataku menghitam pekat dan aku seperti tercekik kehausan, aku meratap menghiba dan terus mengejar asap dupa. Lagi-lagi seperti ikan bethik yang sekian lama menggelepar di hamparan tanah kering, tiba-tiba mak nyess, ikan itupun terlempar dalam genangan air bening dan segar. Bersamaan dengan rasa dingin yang menembus tulang itu pula aku dengar sorak-sorai orang-orang yang mengelilingiku. Irama gamelan tak lagi terdengar, namun orang-orang itu malah menari-nari kesetanan, sambil menyebut namaku dan mempelaiku. Tapi aku tak melihat mempelaiku diantara mereka, mempelaiku yang sesaat tadi telah mendekapku dan menciumiku.
Aku ingin menghindar dari serbuan orang-orang itu tapi aku tak mampu bangkit, sekujur tubuhku ngilu, remuk dan tulang-tulangku lunglai. Iyung dan para tettua kampungku mendekat, beberapa lelaki mengangkatku, aku menemukan pakaianku masai, padahal aku pengantin, untaian kembang pengantinku tercerabut tak tersisa tak tahu siapa yang mencurinya, meungkin dengan mencuri untaian bunga pengantin mereka melambungkan harapan agar segera tertular menikah juga, seperti yang kami para gadis yakini selama ini. Di luar hujan sedang deras-derasnya, orang-orang laki perempuan tua muda terus menari kegirangan sambil tak henti menyebut namaku.
Ditempat lain, para tetua memandikanku sekali lagi dengan air kembang, aku mulai melamunkan mempelaiku, pasti gagah, tampan dan ehhhm...,perkasa, tidak seperti apa yang disampaikan Iyung malam itu yang katanya aku tak akan sanggup mencegah saat suamiku akan melaksanakan hasrat seksualnya pada yang lain. Tidak mempelaiku tidak seperti itu, tadi ia telah tunjukan betapa ia sayang padaku....aku belum sempat bertanya pada Iyung dimana kiranya mempelaiku, sampai aku selesai dimandikan air kembang. Giliran aku kembali dirias, orang -orang masih kegirangan menari. Duh,.... baju pengantin, kebaya warna ungu, betapa cantiknya aku."Wuk, terimaksih untuk pengorbananmu", Iyung berbisik sesaat akan mengiringkanku menemui sang mempelai lelaki. Tujuh orang sesepuh kampung termasuk Iyung duduk melingkar menghadapi sesuatu bertudung batik. "Wow, betapa kaya mempelaiku jika mas kawinnya sebesar itu adanya," bisik hatiku. Pasti tak terbukti lagi nasehat berkarat Iyung malam itu yang mengatakan suamiku tidak akan pernah memberikan sesuatu dan tak bisa dituntut. Tapi kira -kira dimana ya mempelaiku dari tadi belum nampak.
"Wuuk, cah hayu,...sini mendekatlah, kami akan menunjukan suamimu", tetua kampung memulai pembicaraan dan aku beringsut maju sampai tinggal sedepa dengan tudung di depanku, pikirku agar lebih jelas kulihat perhiasan indah maskawin lelaki suamiku. "Inilah mempelaimu, suamimu wuuk", sambil membuka tudung di depanku, serta merta seekor kucing hitam berkaki putih yang cantik mengeong dan duduk di pangkuanku, bulu-bulunya mengkilat, matanya tajam, telinganya berdiri dan bersih baunya tidak apek tanda terawat. Hei, kucing siapa ini, kataku. "itulah suamimu, wuuk", serentak para tetua kampung mengatakannya."Apa, suamiku kuciiiiing, tak ada lagikah cara yang lebih hebat untuk menghinakankuu," aku berteriak hingga mengagetkan orang-orang yang masih menari di bawah guyuran hujan.****
03 January, 2009
PERAWAN PILIHAN
Posted by
Rully Hermanto
at
9:12 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment